Sunday, 28 February 2010

Ketep Pass, Merbabu, Dieng?

Visiting this place was one of my old willing to do. Once, when I was in junior high school, I and my friends had a plan for camping near the Merbabu Mountain. As you know, my beloved small town is near from this mountain. Yepp, we are living in foot of the mountain of Merbabu. So you can imagine how fresh the air was, huh. I love it so.
Well back to the story, hearing the plan, I was very enthusiastic, and kind an impatiently to join the camping immediately. We were so young that we have to ask the permit from our each parents first of course. Then, what my father’s said at that moment had made me really upset. He did not permit me to join the camping. He said that it would be dangerous for we were still too young, and there’s no adult with us. But I tried to convince him, that some of my friends had had experience before. Well, that’s not help anyway.
Yupz, we were doing this plan without any permission from our teachers. It means, that our school did not get any involve in it. We thought that we could do all by ourselves. We prepare anything, well, some equipment for camping, as usual, the tent, the lamp, ect. Knowing that I would not participate the camping, I told it to my classmates. And guess what, what just happen to me, it did happen to my friend too. But later, some of them did go to join the camping, without any permission from their parents. Uhh, I was so jealous, but I tried to be a goooood …(n_n), so I didn’t participate finally. And when the camping was end, I just heard the story, how the camping was, what they did there, from my friends. It sounded they had much fun at that time. And that’s just make me quiet more jealous of course…I thought that I’ve lost my ..….at that time.
And know, well, it did last year, finally I saw the Merbabu nearly. Hmm, actually it’s different story, not about campin... Me, who live near the mountain but never, saw it closely, kinda bit ironical situation, non? And it did happen on my way to go to Ketep Pass. A place where people can have a great view of the two famous mountain, in Java, the Merbabu mountain and the famous active Vulcan in Indonesia,-maybe in the world- Merapi. But the location of the place was not in my city administration, it belongs to Magelang regency. It can be reached for about one and a half from my hometown, Boyolali. Me and my lil’ brother, rode motorcycle to reach the Ketep Pass. He had already known about the track for a little.
But had arrived at Selo, part of Boyolali’s district-, we still had to ask a woman who marched beside the street where the road to Ketep Pass was, hehheee, because he had lost or maybe he just got forgotten. Well, I was enjoying my trip away to Ketep Pass. It was so magnificent, a natural bless. On my right, the huge mountain of Merbabu, and in my left one was the Merapi. Typical, fresh air, the mountain atmosphere, the vegetables gardens, and the fog, -seems that we were in another world-.
Just because all of that, well, it reminded me, a lil bit, about Dieng. I visited it several years a go. And I called it, “The Town behind the hill” regarding the winding road, and several hills in its side that I passed to get thorugh Dieng Plateau. Sometimes, if the weather is not good, just ride your motorcycle, slowly, beside its slippery,, and of course, its fog which will ‘accompany’ your journey at that time,
Okey back to my ‘little tour’ to Ketep, somehow, I was just stuck at my self staring the beautiful scenery of it…

- Someday…I would like to be more close to…...???
………………….

Saturday, 13 February 2010

A short conversation… full meaning, as a fastest course we have…our chatting with Mr. Didit Chris P.

Kemarin, ke Solo lagi. Ceritanya mo ke toko buku. Seperti biasa, ngajak siapa lagi kalau bukan ma soeur qui fait ses études là. Okeyyy, sebelum ke toko buku, kami pergi ke Beteng, ceritanay mo cari sandal. Dapat sandal, kamipun menuju ke sebuah toko buku besar di kawasan jalan Slamet Riyadi. Sampai di sana, sebelum masuk ke tokonya, tiba-tiba saja, adik saya mengajak, berjalan ke depan toko. Emang sih, klo bawa motor,jadi kita parkir di basement gedung, trus klo mo masuk, lewat pintu belakang, so jarang banget melewati pintu yang di depan. Jadi, oleh karena penasaran juga (halahhh), gimana bangunan toko buku ini klo dari depan, kamipun pergi melihat-lihat. Menurut perkiraan kami, mungkin gedung ni dulunya ,milik pribadi, soalnya bangunannya seperti rumah jaman dulu, maksudnya bukan bangunan jaman sekarang begitu. That’s why we wanted to know how the front door looks like. Sesampainya di depan, ehh, kelihatannya lagi ada pameran. Tapi pameran apaan, both we dunno. Ceritanya biar urut, saya ngajak masuk lewat depan. Ternyata udah ada seorang wanita duduk di depan sebuah meja dengan buku tamu diatasnya. Sempat menyapa wanita tersebut sebentar, kemudian wanita tersebut menyilakan kami masuk. Tanpa mengisi buku tamu, kami langsung masuk aja. Masih bertanya-tanya nih pameran apaan. Di benak saya, nih mungkin pameran lukisan or sejenisnya lah. Okey kami masuk, baru beberapa menit mengamati gambar (karya) datanglah seorang Bapak yang menyapa kami. Batin saya, hmm jangan-jangan nih Bapak yang lagi punya gawe. Kemudian, dia menyapa kami, bertanya kira-kira( soale detailnya lupa, Bapaknya ngomong gimana, yang penting intinya) begini:
Bapak (B): (senyum)“hallo, darimana?”
Ma soeur(M): “ dari solo Pak”
B: “Mahasiswa?”
M: “iyah, Sastra, UNS”
Saya : -diam- .hehehhe.
B: “lho tahu darimana ada pameran?”
Saya: “ ceritanya mo ke toko buku itu Pak, sebelum masuk pengen lihat-lihat ke depan, eh ada ini (pameran)”.
B: “wah, kalau gitu saya beruntung ya, orang-orang yang datang ke toko buku bisa sambil mengunjungi pameran saya” (kira-kira begitu soalnya saya lupa detailnya si Bapak ngomongnya gimana, intinya gitu)
Setelah saya pikir-pikir yang beruntung ntu kami apa Bapaknya yah. Tidak menyangka kami bisa ketemu Bapak yang punya pameran langsung, ngobrol ngalor ngidul. Walaupun kadang kami tidak nyambung…(generasi muda apa-apaan ini, hhehhe), tapi, tetep aja, Bapaknya dengan sikap ramahnya, mencoba mengajak kami berdiskusi.
B: wah, anak sastra ya, pasti pinter linnguistik nih, sini saya tunjukkan salah satu ide saya ,(sambil berjalan menuju sebuah gambar), nanti tolong kasih komentarnya ya”
Sini-sini lihat dulu, nanti saya jelaskan apa ini”.
Kami berjalan mengikuti si Bapak. Di depan kami terpampang sebuah poto besar Bung Karno, dan di samping kanan kirinya terdapat beberapa script tulisan tangan Bung Karno.
Dalam hati saya,nih apaan yakzz..??? trus kami coba baca itu script. Belum sempat selesai baca sript, Bapaknya menjelaskan,
B: “ jadi ini terinspirasi dari The Declaration of Independence-nya Amerika, pernah dengar kan?”
Kami: “oh, iya Pak, pernah”
B: “ nha, di situ itu ternyata sudah ada patokan menulis.......dan ternyata seorang pemimpin besar pasti mempunyai ciri-ciri tulisan maisng-masing. (kira-kira maksudnya gini, dia mencoba mengadakan penelitian terhadap tulisan tangan Bung Karno. Nha setelah mengamati nih, si Bapak menyimpulkan, bahwa ternyata tulisan bung Karno itu konsisten, misalnya bagaimana Bung Karno menuliskan huruf A besar yang berbeda dengan orang kebanyakan). Di bawah gambar diri bung Karno, terdapat beberapa hasil analisanya si Bapak ini. Dari huruf yang digunakan Bung Karno yang menunjukkan kekonsistennya sampai angka tidak ketinggalan. Kata Bapaknya lagi, “ nih rencanya mo dipatenkan, ntar didaftarkan ke ...(pa yah,saya lupa , pokokny lembaga yang ngurusin hak paten tulisan ke luar negeri sana).
Hehehhe.. kami belum memberi komentar...heheheelagian juga bingun mo komentar apa. Maaf ya Pak
Ma soeur: “eh Bapaknya dosen ya?”
B: (senyum) “tuh di depan ada CV saya, bisa dibaca di sana”.
Ma soeurr: “ohh eehhh..”
B: “ sudah mengisi buku tamu belum?”
Kami: “belum, Pak”
B: “ngisi di depan dulu, ntar dikasih ‘Joglosemar’ lho”
Akhirnya ngisi buku tamu. Tapi ga dapet ‘Joglosemarnya’ lha wong uda habis...
Lanjut diskusi (cie) ma Bapaknya..dari karya yang ia buat, nyinggung kasus century bentar, soal pendidikan, trus apa lagi, oh iyah, filsafat...(Beberapa kali si Bapak mengutip, karya dari Rendra, sampai filsuf Aristoteles).....beberapa kata yang membuat Bapaknya terinspirasi, dia sampaikan ke kami dan bahkan sampai tidak ketinggalan soal tips cara menyehatkan mata, bagaimana ceritanya seoarang Bapak yang sudah berumur ini, bisa tidak memmakai kacamata.
Saya mengamati sebuah desain kalender. Kata si Bapaknya lagi, “nih, kalender, saya desain, dengan gambar yang saya cocokkan dengan kata-kata yang menyertai gambar tersebut”
Saya: “ini kata-katanya Bapak buat sendiri?”
Bapaknya sambil senyum menjelaskan, bagaimana sebuah inspirasi bisa hadir. Kalau malaem, biasa solat tahajud ga? setengah bertanya, “minta kepada Allah, nhah disitulahh, terkadang tanpa-tanpa kit aduga-duga, datanglah “ .....-inspirasi-....sebuah proses
B: sering ke Jakarta?”
Kami: senyum “jarang Pak”
Dia cerita, “saya itu kalau tinggal di solo malah gampang lelah ya, di Jakarta saya terbiasa tidur jam tiga(pagi)” saya kan dimintai tolong juga ma ‘Joglosemar’ buat ngedit-ngedit gambar, itu dikirim lewat net. (maksudnya dia kan domisili di Jakarta, sedangkan ‘Joglosemar’ di Solo, tapi dia tetep bisa nerima ordernya lewat net, gitu), kadang saudara saya sampai heran.
Lahhh, ko kebalikan kami, analisa adik saya, pasti nih Bapaknya suka kerja (workaholic) jadi pantas saja kalau di Jakarta malah dia merasa nyaman, mungkin di Solo dia kebanyakan nganggur, jadi lelah dah. Saya menimpali, iya yahm ritme hidup di jakrta ma di Solo kan beda juga. Di sana orang terbiasa, berangkat jam setengah 6 pagi, ntar pulang habis magrib bahkan habis isak bisa jug abaru pulang. Padahal, saya yang akhir tahun kemaren aja ke Jakarta, beberapa saat merasakan atmosfer Jakrta..walahhh kesimpulan saya: Jakrta itu bising, beton, crowded (palagi pas jam pulang kerja, seolah-olah orang berlomba buat nyampe rumah duluan, ckckck) wuihh, pokonya dituntut harus sett.. setttt... (tahukan maksudnya), gitulah...saya yang sudah terbiasa dengan ritme hidup di desa, agak-agak shock culture,...hweheheh..lebay..
Lanjut cerita si Bapak“ Jaman sekarang, udah ga jamannya lagi, nglamar pake map, naik turun bus, apa itu”,- dia menyebutnya jaman lumpur-( istilah baru bagi kami, hehheh), “makanya itu jaringan internet musti dipelajari”
.......................
Lagii
B: “Kalian, misalkan lgi dipameran komputer, pokoknya di sebuah pameran yang menyajikan teknologi canggih, apa yang kalian katakan waktu pertama kali masuk ke pameran tersebut” tanya si Bapak.
Kami: “hehhe, 'yah bagus ya', mungkin gitu Pak”
B: “ nhah itu, yang namanya nyembah berhala, kita itu ga sadar, seorang yang religius pasti berkata –“subhanallah, Sungguh Allah Maha Besar bisa menciptakan orang-orang yang bisa buat barang seprti itu””-
Biasanya kita malah terkagum-kagum pada barangnya, ya kan..
Kami :------------------
B: udah dapat kartu nama?
Kami: “belum”
B: “nih saya kasih, nih namanya kartu nama masa depan”
Lah, yah bagaimanakahhhh..
Ternyata, ini yang Bapak maksud dengan kartu nama masa depan, jika biasanya dalam kartu nama dicantumkan nama, alamat lengkap, profesi, nha kalau kartu nama masa depan, Cuma ada, alamat di dunia maya, seprti facebook, blog, twitter, seperti punya Bapaknya.
Jadi siapakah Bapak yang saya bicarakan disini? Nihh, di kartu namanya tertulis:
Facebook: Didit Chris Prawirokusumo
Blogspot: dc_instinctrack
Twitter: mistergrid.
Jadi kami simpulkan sendiri, itu pameran desain grafis,dari Bapak Didit Chris tadi,karya dia dari mulai desain sampul majalah, kalender, iklan juga., ‘n about Sukarno’s script juga.
Kalau Bapaknya merasa beruntung ada pengunjung pameran yang tidak sengaja melihat pameran beliau, seprti kami,yang banyak ga nyambungnya kala diajak berdiskusi, kamipun merasa sangat beruntung, dapat kesempatan berdiskusi sejenak langsung dengan orang yang ngadain pameran.
Oia, lupa mengucapkan terimakasi buat ‘short course’ ‘n short conversation-nya,
Semoga sukses Pak,